Menelusuri Akar Waktu: Ponorogo Bersiap Menyambut Babak Baru Hari Jadinya, Kini Masih Diteliti Ulang
Ponorogo, Metrowilis.com— Di masa depan, ketika Kabupaten Ponorogo telah menapaki usia ke-529, sejarahnya tidak hanya dirayakan, tetapi juga dikaji ulang dengan semangat ilmiah. Komunitas Budaya Pamong Wengker menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini lewat Seminar Bedah Sejarah Ponorogo, yang pernah digelar Kamis (28/8/2025) lalu di aula Bapperida Ponorogo.
Hingga kini belum ada penemuan yang kongkrit mengenai adanya perubahan hari jadi Ponorogo berdasarkan empiris dengan bukti bukti yang nyata berdasarkan peninggalan sejarah di bumi reog itu.
Acara yang mempertemukan budayawan, akademisi, dan arkeolog dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI itu kelak disebut sebagai tonggak penting dalam perjalanan intelektual masyarakat Wengker. Bukan untuk menggugat penetapan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang selama ini diperingati setiap 11 Agustus, melainkan untuk menelusuri lebih dalam akar kesejarahannya dengan pendekatan ilmiah.
“Sejarah bukan sesuatu yang statis, melainkan selalu berkembang seiring penemuan dan pemahaman baru,” ujar Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, saat membuka seminar. Ia menegaskan, Pemerintah Kabupaten membuka ruang selebar-lebarnya bagi para ahli untuk melakukan kajian berdasarkan sumber primer, seperti prasasti, artefak, dan dokumen resmi masa lalu.
Pendapat itu sejalan dengan pandangan Ali Mufthi, anggota Komisi V DPR RI yang juga mantan Ketua DPRD Ponorogo. Menurutnya, sejarah adalah dialektika yang tak pernah berhenti, dan setiap generasi memiliki hak untuk membaca ulang masa lalunya. “Dialog semacam ini adalah bentuk kedewasaan intelektual. Hindari menolak mitos dengan membangun mitos baru,” pesannya.
Dari sisi akademik, Riski Susantini dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI menjelaskan bahwa penetapan hari jadi daerah idealnya berangkat dari bukti faktual bertanggal pasti. Ia menyinggung temuan Prasasti Taji dari tahun 927 Masehi, yang berasal dari masa Raja Balitung di era Mataram Kuno, sebagai salah satu catatan tertua yang memuat nama wilayah Ponorogo. Namun, ia mengingatkan bahwa keberadaan wilayah dalam prasasti tidak serta-merta berarti berdirinya pemerintahan formal.
“Perlu pembacaan cermat, karena prasasti biasanya mencatat peristiwa keagamaan atau penghargaan terhadap seseorang yang berjasa,” ujarnya. Ia pun menyarankan agar Ponorogo membentuk tim kajian sejarah khusus untuk menelaah berbagai sumber, menyusun analisis, dan merumuskan kesepakatan ilmiah mengenai titik awal berdirinya Ponorogo.
Setiap daerah, lanjut Riski, memiliki cara berbeda dalam menentukan hari jadi — ada yang berdasar catatan sejarah kuno, ada pula yang merujuk pada sumber kolonial seperti Staatsblad Belanda. Semua pendekatan itu sah secara metodologis, selama lahir dari musyawarah dan pemahaman mendalam terhadap identitas historis daerah.
Di masa depan, hasil dari dialog ini diyakini akan menjadi lebih dari sekadar tanggal peringatan. Ia akan menjadi cermin kedewasaan kolektif masyarakat Ponorogo dalam memahami masa lalunya. Sejarah bukan hanya kisah untuk dibanggakan, melainkan fondasi berpikir menuju masa depan.
Apa pun keputusan akhirnya — apakah tetap bertahan pada tanggal 11 Agustus, atau menemukan momentum baru yang lebih tepat — semuanya akan menjadi bagian dari perjalanan intelektual dan kultural Ponorogo.
Sebuah perjalanan panjang dari legenda menuju literasi sejarah, dari cerita tutur menuju catatan ilmiah.
Tentunya penetapan hari jadi harus berdasarkan Empiris sesuai dengan artifak purbakala dan harus harus bisa di pertanggung jawabkan secara ilmiyah.
Dan di sanalah, Ponorogo menulis ulang dirinya — bukan dengan tinta, tapi dengan kesadaran.(AZ)
