Berita Hak Jawab Lembaga Hukum Karaton Surakarta atas Pemberitaan Metrowilis.com
Lembaga Hukum Karaton Surakarta Layangkan Hak Jawab dan Koreksi atas Pemberitaan Terkait Kewenangan Lembaga Dewan Adat
Surakarta | Metrowilis.com- Lembaga Hukum Karaton Surakarta yang mewakili Lembaga Dewan Adat (LDA), Pengageng Sasana Wilapa, serta Trah Dinasti PB II–PB XII melalui Dr. KPH Eddy S. Wirabhumi, SH., MM, resmi menyampaikan Hak Jawab dan Hak Koreksi kepada Redaksi Metrowilis.com. Surat resmi tertanggal 28 November 2025 tersebut diterima pihak redaksi pada Senin (1/12/2025).
Hak jawab ini merespons pemberitaan Metrowilis.com berjudul “Karaton Surakarta Tegaskan Lembaga Dewan Adat Tak Berwenang Tentukan Suksesi Raja” yang terbit pada 17 November 2025. Pihak Karaton menilai berita tersebut memuat informasi yang tidak akurat, tidak berimbang, tidak diverifikasi, serta berpotensi menyesatkan publik, khususnya mengenai kewenangan pranata adat, struktur karaton, dan peran Lembaga Dewan Adat.
Dalam surat hak jawab yang disampaikan, Lembaga Hukum Karaton Surakarta mengacu pada UU Pers No. 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik, serta Pedoman Pemberitaan Media Siber (2012) sebagai dasar koreksi.
Koreksi dan Penjelasan Resmi Lembaga Hukum Karaton Surakarta
Berikut poin-poin utama koreksi yang disampaikan:
1. Soal Klaim LDA “Bukan Lembaga Adat”
Pemberitaan sebelumnya menyebut LDA hanyalah perkumpulan biasa.
Fakta yang benar, menurut Lembaga Hukum Karaton Surakarta:
- LDA merupakan pranata adat resmi Karaton Surakarta.
- LDA menjadi wadah Sentana Dalem dan para Pengageng Adat dari trah Dinasti PB II–PB XIII.
- LDA adalah bentuk reaktualisasi lembaga adat tradisional yang sudah eksis sejak era Mataram Islam.
- LDA memiliki otoritas adat bersama Pengageng Sasana Wilapa dalam menjaga paugeran (aturan adat).
Pihak Karaton menegaskan bahwa pengesahan badan hukum LDA tidak menghilangkan statusnya sebagai pranata adat, melainkan penyesuaian administratif sesuai sistem hukum nasional.
Mereka juga mengutip Putusan Mahkamah Agung RI No. 1950/PDT/2002 serta pelaksanaan eksekusi Pengadilan Tinggi Surabaya pada 8 Agustus 2024 yang menegaskan bahwa:
- Struktur “Babadan” versi SK 2017—termasuk pejabat yang mengatasnamakan PB XIII—merupakan perbuatan melawan hukum.
- Pranata adat yang sah adalah yang dipimpin oleh Pengageng Sasana Wilapa (Gusti Moeng) bersama LDA. 2. Klaim LDA Dibentuk Tanpa Persetujuan PB XIII
Lembaga Hukum Karaton menyatakan bahwa isu “restu raja” tidak relevan.
Faktanya:
- Lembaga adat tidak dibentuk oleh raja, melainkan oleh para Sentana secara lintas generasi.
- Otoritas adat bersifat kolektif, bukan kewenangan pribadi raja.
- Transformasi LDA menjadi badan hukum justru bertujuan untuk melindungi PB XIII di masa konflik internal.
- Tindakan PB XIII melalui SK 2017 telah dinyatakan melawan hukum oleh Mahkamah Agung, sehingga tidak dapat dijadikan dasar membatalkan LDA. 3. Status “Terblokir” AHU
Pemberitaan yang menyebut status terblokir dalam Administrasi Hukum Umum (AHU) membuat LDA tidak sah dinilai keliru.
Menurut Lembaga Hukum Karaton:
- Blokir pada AHU bersifat teknis administratif, terkait beneficial owner.
- Status tersebut tidak membubarkan badan hukum, tidak menghapus legalitas organisasi, dan tidak ada kaitannya dengan kewenangan adat.
- Menjadikan isu administratif pemerintah untuk menggugurkan kewenangan ada t merupakan tindakan misleading dan tidak sesuai prinsip verifikasi jurnalistik. 4. Soal Kewenangan Suksesi Raja
Pemberitaan sebelumnya menyebut suksesi adalah hak prerogatif raja.
Fakta versi Karaton:
- Dalam paugeran Karaton Surakarta, suksesi ditentukan oleh:
- Trah Dinasti PB II–PB XIII,
- Majelis Adat,
- Pengageng Sasana Wilapa,
- Lembaga Dewan Adat.
Mereka menegaskan bahwa suksesi merupakan mekanisme adat kolektif, bukan keputusan sepihak raja.
Penutup
Lembaga Hukum Karaton Surakarta menegaskan bahwa hak jawab ini disampaikan untuk meluruskan informasi kepada publik agar tidak terjadi kesalahpahaman mengenai struktur, kewenangan, dan pranata adat Karaton Surakarta.
Mereka berharap media tetap mengedepankan prinsip akurasi, keberimbangan, dan verifikasi sesuai kaidah jurnalistik dalam setiap pemberitaan menyangkut institusi adat dan sejarah. (Red)
