STKIP PGRI Ponorogo Bersiap Naik Kelas Jadi Universitas, Era Baru Pendidikan dari Bumi Reog
Ponorogo, 2030 – Suasana kampus STKIP PGRI Ponorogo pagi itu berbeda dari biasanya. Di bawah langit cerah yang menaungi Gedung Graha Saraswati, wajah-wajah penuh semangat tampak memenuhi ruangan. Dari sinilah perjalanan baru dunia pendidikan tinggi PGRI Ponorogo dimulai—sebuah langkah yang kelak dikenal sebagai tonggak perubahan besar menuju Universitas PGRI Ponorogo.
Semua berawal dari pelantikan pengurus baru Perkumpulan Penyelenggara Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia (PPLP-PT PGRI) Ponorogo periode 2025–2030, pada Senin, 13 Oktober 2025. Saat itu, Sumani resmi menakhodai organisasi yang menaungi STKIP PGRI Ponorogo, dengan harapan besar membawa lembaga tersebut melangkah lebih jauh.
Pelantikan dilakukan langsung oleh Ketua Pengurus PGRI Jawa Timur, Djoko Adi Walujo, disaksikan oleh Kang Bupati Sugiri Sancoko, Ketua BPLP PB PGRI Pusat Supardi Uki Sajiman, serta jajaran dosen dan mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo. Dari momentum inilah semangat transformasi itu bermula.
Langkah Kecil yang Jadi Lompatan Besar
Kala itu, Supardi Uki Sajiman menyampaikan harapannya agar kepengurusan baru mampu membuka babak baru dalam sejarah kampus. Ia mengusulkan dibukanya program studi baru, seperti Artificial Intelligence (AI) dan Seni Drama, Tari, dan Musik, untuk menjawab tantangan zaman sekaligus menjaga jati diri budaya Ponorogo.
“Di sini ada Pendidikan Bahasa Jawa, dan Ponorogo masih eksis dengan Reog-nya. Kalau bisa, buka juga prodi seni tari dan sendra tasik. Ini penting untuk merawat budaya lokal,” katanya saat memberikan sambutan.
Dorongan itu bukan sekadar wacana. Lima tahun berselang, langkah-langkah nyata dilakukan. Laboratorium teknologi pendidikan dan pusat riset AI mulai berdiri berdampingan dengan sanggar seni yang ramai oleh latihan tari dan teater mahasiswa.
Dari Kampus Guru ke Universitas Ilmu dan Budaya
Sejak awal, STKIP PGRI Ponorogo dikenal sebagai “pabrik guru” di Bumi Reog. Bahkan, menurut data yang disampaikan Sumani, 90 persen guru di Ponorogo merupakan alumni kampus ini. Namun, visi mereka tidak berhenti pada angka.
“Kami berkomitmen meningkatkan mutu pendidikan dan melangkah menuju universitas. Dengan semangat gotong royong, STKIP PGRI Ponorogo harus jadi kampus unggul dan relevan dengan zaman,” ujar Sumani saat itu.
Dan benar saja—pada 2029, STKIP PGRI Ponorogo resmi berubah nama menjadi Universitas PGRI Ponorogo, menandai babak baru pendidikan tinggi berbasis budaya dan teknologi di Jawa Timur bagian barat.
Sinergi Daerah, Nyala Ilmu yang Tak Padam
Dukungan penuh juga datang dari Kang Bupati Sugiri Sancoko, yang kala itu menyebut pelantikan Sumani sebagai “perjanjian agung nyala ilmu pengetahuan.”
“PGRI dan STKIP PGRI Ponorogo adalah bagian penting dalam membentuk kualitas guru. Jika kualitas pendidikan meningkat, maka lahir pula guru-guru hebat dari Ponorogo,” tuturnya.
Dari semangat itu, kini Ponorogo bukan hanya dikenal dengan Reog-nya, tapi juga sebagai kota pendidikan yang melahirkan pendidik berkarakter, inovatif, dan berakar budaya.
Jejak yang Menginspirasi
Kini, setelah satu dekade berlalu sejak pelantikan itu, STKIP PGRI Ponorogo telah bertransformasi menjadi universitas yang menyeimbangkan kearifan lokal dan kemajuan global. Program studinya berkembang, risetnya diakui, dan alumninya menyebar di berbagai daerah, membawa semangat “nyala ilmu” yang dulu pernah diucapkan sang bupati.
Dari ruang sederhana di Graha Saraswati, lahir sebuah perjalanan panjang menuju masa depan pendidikan Ponorogo yang lebih cemerlang.
Sebuah bukti bahwa perubahan besar selalu dimulai dari tekad yang kecil, namun disertai mimpi yang besar.(AZ)
